Posts Tagged ‘Visi’

Peraturan, Infrastruktur dan Visinya

Saturday, May 30th, 2015

Banyak peraturan di Indonesia yang perlu direvisi. Seperti halnya sistem operasi, perangkat lunak, maupun perangkat keras, perlu direvisi agar dapat mengikuti dengan apa yang menjadi kebutuhan manusia. Yang ingin saya katakan dalam hal ini adalah, jangan terlalu berharap banyak dengan adanya perubahan yang signifikan di masyarakat, bila peraturan-peraturan yang dibuat pun masih banyak yang merupakan peninggalan jaman penjajahan Belanda, alias banyak yang belum direvisi. Belum lagi administrasi dari hukum tersebut yang saling tumpang tindih dan potensial menimbulkan definisi yang berbeda-beda.

Meski saya tidak mencoblos presiden terpilih saat ini, namun ada hal-hal yang bagi saya cukup pantas untuk diberikan apresiasi. Salah satu diantaranya adalah dengan dikeluarkannya perda (peraturan daerah) tentang larangan penjualan minuman keras yang sejak tanggal 16 April 2015 resmi diberlakukan.

Namun sayangnya, seringkali peraturan yang dibuat di Indonesia, tidak ditunjang dengan infrastruktur pendukung yang baik. Sehingga, peraturan hanya tinggal peraturan.

Yang saya maksudkan dengan infrastruktur pendukung adalah peraturan penjelas dari peraturan yang dimaksudkan, agar tidak menimbulkan pengartian yang ambigu di masyarakat, juga aparat pelaksana yang menjamin terlaksananya penerapan dari peraturan tersebut.

Kondisi yang saya sampaikan, pada dasarnya telah terjadi pada pemerintahan yang lama, yaitu pada saat dikeluarkannya Undang-Undang Keterbukaan. Visi diciptakannya undang-undang tersebut sangat bagus. Tapi kalau ditanya bagaimana implementasinya, saya yakin mulai dari sosialisasinya hingga penerapannya, masih boleh dikatakan jauh dari kata berhasil. Apakah pada pemerintahan yang sekarang ini akan melakukan hal yang sama dengan pemerintahan yang lama? Semoga saja tidak!

Miras di Mini Market

Jenis miras di mini market (06/05/2015)

Namun ada satu hal yang paling penting yang perlu digarisbawahi, bahwa semua peraturan yang ada, dibuat lantaran memiliki visi. Visi yang paling utama dari dibuatnya peraturan adalah terwujudnya “keadilan” di mata masyarakat. Sehingga bila visi yang terlihat lebih condong pada “penangkapan”, “pemecatan”, atau “nafsu kemenangan dan kekuasaan”, jangan salahkan siapa-siapa bila muncul social disorder di mana-mana. Hanya tinggal masalah waktu saja sampai keresahan di masyarakat, membentuk kondisi kekacauan dengan sempurna.

Bila visi sebuah aturan sudah bertolak belakang dengan penerapan aturan tersebut, sudah dipastikan ada yang salah dalam penataan administrasi penerapan aturan tersebut. Hal ini kadang menimbulkan persepsi, seakan hukum “bisa dibeli” demi kepentingan golongan tertentu. Selanjutnya, hal ini pulalah yang menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Masyarakat ingin aman. Namun malah jadi merasa tidak aman. Aneh memang. Namun itulah kenyataannya. Institusi yang seharusnya menegakkan ketertiban di masyarakat, justru seakan menjadi “biang kerok” pembuat resah masyarakat.

Pada dasarnya saya masih menaruh harapan pada pemerintah yang sekarang ini, setidaknya untuk hal-hal yang kalau boleh dikatakan tidak besar, yaitu untuk hal-hal yang kecil. Maaf saya sebut hal-hal kecil, mengingat dengan berbagai pajak yang naik, namun, seperti kinerja dari pemerintah yang sekarang, tidak juga kunjung naik. Maka dari itu, saya sebut pemerintah yang sekarang ini, setidaknya telah berusaha berbuat, untuk hal-hal yang kecil. Namun sekali lagi saya tegaskan, seperti yang saya katakan tadi, saya masih berharap setidaknya, hal-hal yang kecil ini dapat diperbaiki di kemudian hari, kalau bisa secepatnya, agar dapat memberi manfaat yang besar bagi masyarakat.

Salam revolusi mental untuk pemerintah!

Apakah Pengendara Sepeda Listrik Dilarang Menggunakan Fasilitas Umum?

Thursday, January 26th, 2012

Sepeda listrik saya digolongkan bukan sebagai kendaraan bermotor. Mengapa demikian? Karena kecepatan maksimalnya hanya 35 km/jam. Di bawah kecepatan maksimal kendaraan bermotor pada umumnya. Mesinnya tidak melalui uji KIR. Ya karena gak ada mesin motornya. Klo mau lebih cocok digolongkan sebagai barang elektronik. Bukan sebagai kendaraan bermotor.

Di jalan, saya pernah dihentikan oleh polisi lalu lintas. Tepatnya di Dayeuhkolot. Alhamdulillah, saya cuma disuruh pake helm saja. Saya salut banget sama Pak Polisi yang beroperasi di Dayeuhkolot. Saya gak diapa-apain. Maka saya dengan senang hati setiap berkendara sepeda listrik lewat Dayeuhkolot, saya berusaha selalu pake helm. Walau menurut saya kalau pun saya gak pake helm, saya gak salah juga. Karena saya naik sepeda kok. Bukan naik motor.

Tapi “masalah” saya rasakan tatkala harus berhadapan dengan Pak Polisi yang suka beroperasi di daerah Terusan Buah Batu. Pertama kali saya diberhentikan, sepeda listrik saya mau diangkut ke Polsek [geleng-geleng kepala mode]. Apa salah saya coba? Saya bilang kepada mereka bahwa saya tuh naik sepeda listrik. Jadi gak pake surat. Karena sejak saya beli dari sorumnya juga gak pake surat tetek bengek seperti yang mereka minta. Kalo saya pake helm, adalah dalam rangka menghormati. Bukan berarti saya ingin digolongkan sebagai pengendara sepeda motor. Selain itu, kendaraan yang saya kenakan juga bukan digolongkan sebagai kendaraan bermotor. Akhirnya, alhamdulillah saya dilepaskan.

Kali kedua saya dihentikan lagi di Terusan Buah Batu. Saat dihentikan, sebenernya saya sudah tidak ada perasaan was-was seperti dulu kalo2 kendaraan saya mo diangkut ke polsek. Soale udah jadi rahasia umum, kendaraan kalo menginap meski sehari doank di polsek, pasti onderdilnya kacau balau sekeluarnya dari polsek. Makanya saya benar2 gak mau klo sampai kendaraan saya dibawa ke polsek. Karena ini kali kedua saya dihentikan oleh polisi lalu-lintas di sektor Terusan Buah Batu, ya saya tenang aja. Menjelaskan bahwa kendaraan yang saya pakai memang bukan motor.

Tapi yang mengganggu saya, yang pada akhirnya saya jadi menulis artikel ini adalah.. pernyataan Pak Polisinya yang mengatakan agar saya mengendarai sepeda listrik hanya di daerah sekitar komplek perumahan saja [gubrak mode].

Saya jadi bertanya-tanya. Apakah jalan umum sudah berubah definisinya menjadi jalan bukan umum? Atau definisinya menjadi.. jalan umum namun dengan pengecualian? [geleng-geleng kepala mode].

Klo mereka berpikir dengan jernih, harusnya para Pak Polisi itu berterima kasih sama saya yang mengendarai sepeda listrik ini. Bukankah saya pada akhirnya secara gak langsung membantu program pemerintah guna menghemat BBM? Klo saya yang bisa mondar-mandir selama 3 tahun belakangan ini dari Buah Batu ke Baleendah dengan bersepeda listrik, kenapa harus naik angkot? Uda gak efesien dari segi waktu dan biaya. Pake BBM pula. Ataukah.. program yang selama ini dicanangkan pemerintah cuman wacana saja? Emang gak pernah benar2 mo merealisasikan visi mereka. Wacana doank. Karena kalo saya dilarang bersepeda listrik untuk berproduksi sebagai seorang profesional, bukankah itu berarti beda visi dengan misinya. Visinya.. hematlah BBM. Misinya.. pakailah BBM. Kayak PLN jaman dulu. Visinya… hematlah listrik. Misinya.. naik daya lebih mudah daripada turun daya. Visi ke Utara. Misi ke Selatan.

Dulu di Cina, para pekerja seperti buruh, dianjurkan hanya bersepeda untuk menghemat pengeluaran. Sekarang, tidak sedikit perusahaan di Cina memberi fasilitas sepeda listrik kepada para pekerjanya. Dari rumah ke pabrik. Bersepeda listrik. Sesampai di pabrik, diberi fasilitas pengisian listrik. Sistemnya sudah pake sistem solar. Gak heran kalo Cina memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat.

Tapi di negeri impian, malah disarankan agar jangan pake sepeda listrik jauh-jauh. Cukup di sekitar komplek perumahan aja. Klo jauh-jauh, harus naik yang pake BBM kali ya? Bener2 saya gak ngerti. Gak ngertinya maksudnya.. bingung untuk memahami.. bagaimana kok bisa terjadi.. visi para pemimpin negeri yang ke Utara.. aparatnya bermisi ke Selatan..