Posts Tagged ‘Simulasi Kerjasama’

Daripada Ngomong Sama Tembok

Thursday, August 6th, 2009

Ini terjadi saat fakultas tempat saya bekerja, dulunya masih berstatus sebagai departemen. Saat-saat di mana sedang dilakukan pindahan gedung, agar segala sesuatunya lebih bisa dikoordinasikan (tentunya termasuk barang2 laboratorium). Seperti yang sudah sempat saya katakan pada artikel2 saya sebelumnya, walau semuanya seakan sudah dikoordinasikan, namun dari sisi manajerial terkesan tetap saja masih kurang terkoordinasi. Padahal juga pernah.. sempat turun dana untuk digunakan sebagai modal pelaksanaan program2. Cumaaa.. ya itu tadi, karena terkesan kurang terkoordinasi, makanya ada sebagian program yang mandeg, meski.. dananya sudah turun. (Saya pribadi klo denger hal semacam ini, kayaknya kok mubazir juga ya klo sampe dana dah turun tapi programnya mandeg. Klo boleh saya minjem tuh duit, rasanya mo saya pinjem dulu aja buat saya pake untuk keperluan yng lain. Agar jangan sampe inflasi gtu ganti rogerrr. Kan orang2 di negeri impian paling pandai bikin inflasi. Duit dikumpulin se-banyak2 nya, namun gak usah di-pake2. Dijadiin isi sarung bantal ato dipake mandi kali ya. Kalo di Indonesia Raya Merdekahhh Merdekahhh gak gtu lah yaw. Orang2 nya sangat produktif makanya yang namanya inflasi tuh relatif gak pernah terjadi. Tul kan pemirsa?). Suatu kali diadakan rapat yang membahas berbagai masalah yang terjadi, termasuk masalah yang berkaitan dengan laboratorium. Saat itu, saya juga belum menjabat sebagai kepala laboratorium. Masih belum jabat apa2 deh pokoknya. Jadi kalo dari artikel yang saya tulis tempoe doeloe, laboratorium jaringan komputer, keadaannya masih kayak gudang ketimbang laboratorium. Nah di sela2 rapat ada pertanyaan kurang lebihnya begini.. ”Kenapa ya orang2 di laboratorium terutama laboratorium jaringan komputer susah sekali ya dikoordinasikan para asistennya?” Ya.. sebenernya kurang lebihnya udah pernah saya coba carikan solusinya dengan mengadakan pelatihan berupa simulasi kerjasama. Cuma.. lantaran malah timbul problem yang macem2. Yahhh.. sudahlahhh.. Daripada berbuat baik tapi malahan terfitnah macem2, mendingan diem aja. Termasuk diem dalam berkomentar tatkala ada pertanyaan semacam itu. Soalnya.. bilapun saya mesti jawab.. juga percuma aja seh. Kayak ngomong sama tembok. Daripada capek. Capek duech!!!

Tentang Outbond

Tuesday, August 4th, 2009

Pernah gak nemuin kasus seperti ini. Suatu tim terdiri dari orang yang tergolong agresif alias extrovet.. sedangkan lainnya.. pendiem alias introvet. Ato yang lainnya lagi.. pernah nemuin gak suatu keluarga yang istrinya udah cerewet, keras kepala, gak mau ngalah.. sedangkan yang jadi suaminya memiliki sifat yang merupakan kebalikannya. Sebenernya kalo dari para anggota dalam komunitas tersebut tidak menganggap ada masalah dari bentuk hubungan seperti itu.. bahkan hasilnya malahan menghasilkan tingkat produktifitas yang tinggi.. maka itu berarti telah terjadi “kecocokan” di antara para anggota tim tersebut. Lebih jauh lagi, masing2 karakter yang berada di dalam tim tersebut diharapkan tidak mengubah karakter yang sudah ada, sebab.. “mapping” na sudah ter-plot dengan komposisi yang dapat dikatakan.. “pas”. Nah.. untuk menemukan “kecocokan” tersebut, tidak semua orang dapat melakukannya dengan “cepat”. Akibatnya perlu banyak pengorbanan baik dari sisi materi maupun waktu untuk menemukan “kecocokan” yang diharapkan. Tentunya akan baik sekali bila kita bisa menemukan “kecocokan” tersebut dengan efektif dan efesien. Salah satu tool ato “perangkat” yang bisa kita gunakan adalah outbound. Dengan outbound ini diharapkan.. selama proses berlangsung.. dapat men-”simulasi”-kan masing2 karakter dari para anggotanya dengan berbagai bentuk model permainan yang mana bentuk2 tersebut sesungguhnya adalah representasi bentuk2 “simulasi kerjasama suatu tim”. Entah mengapa saya sering merasa terkadang orang salah kaprah mengenai bagaimana melaksanakan outbound ini walau.. tidak sepenuhnya salah. Kebanyakan orang melakukannya dalam rangka senang2 ato sebagai hiburan saja. It is okay bila tujuannya senang2 namun kekuatiran saya pada apa yang akan terjadi, pada akhirnya tidak menghasilkan hasil “mapping” yang optimal (lebih jauh lagi buang2 duit dan tenaga). Sebab ke-khas-an karakter yang diharapkan muncul selama proses simulasi kerjasama berlangsung, malahan tidak muncul sama sekali lantaran semua peserta melakukan proses simulasi kerjasama dengan tidak serius. Hasilnya.. pada akhirnya setelah kembali ke tempat kerja.. kembali muncul permasalahan2 yang.. mereka sendiri menganggap ini masalah.. tapi gak tau sumbernya dari mana ya? Ya itu tadi seperti yang saya katakan.. lantaran “mapping” nya.. komposisinya masih belum pas. Sebab karakter yang seharusnya muncul selama proses simulasi kerjasama.. namun tidak muncul. Akibat dari tidak seriusnya para peserta outbound melaksanakan simulasi kerjasama tersebut, selama outbound berlangsung. Beberapa hal agar outbound yang dilaksanakan dapat menghasilkan hasil yang optimal. Diantaranya adalah..

Interview. Ini perlu dilakukan menurut saya untuk mendapatkan gambaran profil dari peserta outbound. Jangan sampe nantinya permainan super keras diterapkan kepada orang yang punya penyakit tertentu misalnya. Wah.. berabe bisa2. Selain itu juga agar instruktur tidak terkaget-kaget di lapangan manakala karakter asli dari peserta muncul, sedangkan karakter itu belum tentu disenangi oleh sang instruktur misalnya. Jadi udah ada semacam defend dulu agar gak terkaget-kaget (termasuk solusi bagaimana menanganinya).

Variasi permainan. Ini juga penting dan mesti disesuaikan dengan kondisi dan budget. (Bukan berarti simulasi kerjasama ini tidak bisa dimainkan di dalam ruangan loh pemirsa). Semakin pandai seorang instruktur merancang suatu permainan, yang dapat mensimulasikan kerjasama antar anggota tim, semakin besar kemungkinan keberhasilan dari outbound tersebut.

Keseriusan dan kesiapan peserta. Bila segala-galanya sudah bagus namun pesertanya tidak serius atau tidak siap, yang ada bisa2 hanya akan buang2 waktu dan tenaga saja.

Komunikasi. Saat outbound berlangsung, harapannya karakter yang biasa digunakan para peserta selama di tempat kerja, karakter itulah yang digunakan. Nantinya bisa jadi akan timbul konflik dan bisa jadi masalah dalam komunikasi. Nah.. ini akan menarik bila masih bisa dilakukan kompromi dari hasil komunikasi yang berlangsung.

Btw, bila dari hasil kompromi yang terjadi tidak mendapatkan hasil yang benar2 produktif, maka bisa jadi ada (satu atau lebih) karakter yang boleh dibilang kurang cocok untuk ditempatkan dalam tim. Untuk itulah perlu dilakukan perubahan karakter. Misal, yang tadinya pemarah harus dikurangi marah nya. Yang pendiam harus diajak atau diberi peluang untuk bisa mengungkapkan apa yang dianggapnya baik untuk tim. Dan bila terjadi perubahan berupa peningkatan produktifitas tim tersebut dari yang semula tidak produktif atau kurang produktif, maka karakter baru itulah yang ”stelan”-nya perlu digunakan dalam lingkungan kerja sehari-hari. Karena ”mapping” na boleh dikatakan udah ”pas”. Namun bila dianggap ada pemarah dan ada pendiam tapi tetap dianggap produktif. Malah justru sarannya adalah.. peliharalah sifat marah dari pemarah dan sifat pendiam dari si pendiam karena “mapping” nya udah pas. Aneh kan? Tapi ajaib, begitulah sarannya.

Gimana bila ternyata tidak berhasil pula dilakukan kompromi dari usaha untuk merubah karakter yang ada di dalam tim (yang mengakibatkan kurangnya produktifitas dalam tim)? Nah ini yang mesti dilakukan menurut saya. Personil yang memiliki karakter yang kurang cocok dalam tim tersebut lantaran tidak ditemukannya ”mapping” yang pas, mungkin bisa ditempatkan di tim yang lain yang lebih cocok untuknya (selain kemudian bisa di-training pelan2 agar karakternya bisa berubah ke arah yang diharapkan. Btw perusahaan sekelas General Electric melakukan hal itu kepada para karyawannya). Menurut saya seh seperti itu. Tapi terlepas dari suka atau tidak suka dari keputusan yang diambil, harapannya ke depan akan memberi keseimbangan dalam tim di kemudian harinya. Mungkin gak ada yang salah dan gak ada yang bener dari hasil keputusan tersebut. Seperti tidak ada yang salah tatkala ada istri cerewet dengan suami pendiam. Intinya bagaimana menemukan ”mapping” yang pas untuk tim. Cara yang berat dan mahal memang. Namun di luar negeri ini dianggap efektif ketimbang sekedar melakukan assessment. Assessment memang cara yang murah menurut saya. Namun boleh dibilang tidak.. atau setidak-tidaknya.. kurang adil. Coba pikir baik2. Istri cerewet dan suami pendiam tapi produktif. Istri oke dan suami oke namun gak produktif. Apa yang salah dari sebuah assessment? Namun assessment ini boleh dibilang masih bisa dipake, bahkan kepake banget daripada.. ribet! Orang di negeri impian kan sukanya yang gak ribet2. Sukanya yang murah2. Kalo perlu yang gratis2. Tul kan pemirsa?